Header Ads

Pesisir Jakara Utara Semakin Kaya di Atas Kemiskinan Para Nelayan di Sekitarnya


Naha Wepesansan –
6,32 juta kilo meter persegi wilayah perairan Indonesia. 25,14 persen penduduk miskin nasional hidup dari hasil laut. 2,7 juta jumlah nelayan di Indonesia mayoritas hidup prasejahtera.

Jakarta berbatasan langsung dengan garis pantai disebelah utara. Di sini ribuan nelayan menggantungkan hidupnya sejak ratusan tahun sejarah maritim Jakarta. Namun seiring berkembangnya zaman, pantai-pantai di Jakarta beralih fungsi.

Pesisir yang dulunya menjadi tempat bersandarnya perahu nelayan di pagi hari, ketika datang mereka membawa hasil tangkapan laut. Kini beralih fungsi menjadi pemukiman elit, komplek mewah, dan apartemen yang menjulang tinggi.

Lalu kemana nelayan tradisional yang dulu ramai di pesisir Jakarta? faktanya keberadaan mereka masih ada. Mereka mencoba beradaptasi dan terus tersisihkan, semakin hari ruang gerak mereka semakin hilang.

Bahkan tak jarang mereka yang berpuluh-puluh tahun menjaga dan menggantungkan hidup di pantai terusir dari suatu wilayah yang telah dialih fungsikan.

Dikutip dari channel YouTube ACT pada 16 September 2021, pak Asaprudin merupakan nelayan yang tinggal di wilayah Tanjung Priuk, Jakarta Utara.

Setiap sore hari, dia selalu datang ke wilayah pantai Ancol. Dia dan puluhan nelayan lainnya masih bertahan di wilayah ini.

Untuk bisa masuk ke wilayah ini, mereka harus melalui akses jalan perusahaan dan sekatan dinding, agar bisa menemukan perahu-perahu di pantai.

Kebanyakan nelayan disini menangkap ikan dengan menggunakan jaring. Biasanya hasil ikan yang didapat seperti ikan bandeng dan belanak.

Sebelum pandemi Covid-19, para nelayan ini bisa parkir perahu dan menjual hasil tangkapan mereka di pantai Ancol. Namun semenjak pandemi Covid-19, mereka tidak diperbolehkan lagi masuk ke kawasan pantai Ancol untuk menjual ikan hasil tangkapannya.

Dengan alasan protokol kesehatan, untuk mencegah penularan pandemi Covid-19 yang mewabah sejak awal tahun 2020.

Sejak saat itu, puluhan nelayan berpindah dari wilayah ini, sehingga hasil tangkapan mereka pun susah untuk dijual. Selain harga yang murah, ikan yang didapat juga semakin sedikit dari biasanya.

Ribuah nelayan di pesisir teluk Jakarta mengaku hasil tangkapan mereka kian berkurang, akibat pencemaran.

Terdapat 13 sungai yang masuk ke Ibu Kota, dan semuanya bermuara ke Teluk Jakarta. Hampir semua sungai itu membawa limbah, tidak hanya sampah, tetapi juga bahan-bahan kimia.

Padahal dulu sebelum pandemi Covid-19, para nelayan ini memasarkan hasil tangkapan mereka langsung pada pengunjung, atau warga di sekitar Ancol.

Selain terusir dari pembangunan infrastruktur mewah di pesisir, mereka juga sering terabaikan. Nasib mereka semakin hari, semakin tak terdengar, diredupkan oleh sistem.

Seolah-olah keberadaan mereka tidak lagi diinginkan. Apalagi mereka ini tidak dinaungi suatu kelompok nelayan atau koperasi yang bisa membina dan menjadikan pegangan.***

Tidak ada komentar