Kesyirikan di Bulon Suro, Menganggap Sebagai Bulan Sial
Naha Wepesansan – Muharram adalah bulan tahun baru
dalam kalender hijriyah, sedangkan Suro sendiri adalah nama yang diberikan
orang Jawa pada bulan Muharram. Bulan Suro ini dianggap sial (mitos bulan suro)
bagi sebagian orang Jawa.
Andaikan tidak ada hubungannya dengan surga dan neraka, bisa
dikatakan ini adalah satu adat yang biasa dan tidak perlu diperdebatkan.
Namun dalam kaca mata agama Islam, keyakinan dan anggapan
sial atas bulan Suro termasuk salah satu bentuk kesyirikan. Satu dosa yang
sangat besar, bahkan lebih besar dari dosa-dosa besar lainnya.
Kesyirikan tidak akan diampuni oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, jika dibawa mati oleh pelakunya dan dia
belum bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Keyakinan yang tidak bisa diterima dengan akal sehat ini
tidak hanya hinggap di masyarakat bawah saja, bahkan mereka yang dari kalangan
berpendidikan dan mengenal teknologi seperti mahasiswa, dosen, atau pun orang
terpelajar mempercayainya.
Dalam ilmu Aqidah, keyakinan sial seperti ini dinamakan
Thiyaroh, yaitu beranggapan mendapat kesialan atau musibah karena mendengar
atau melihat sesuatu yang tidak disukai, padahal tidak ada bukti ilmiahnya.
Misalnya, anggapan bahwa bulan Suro adalah bulan malapetaka.
Dikutib dari akun YouTube Yufid.TV pada 13 Agustus 2021, Thiyaroh
adalah aqidah orang kafir jahiliyah. Sebelum Islam datang, orang-orang musrikin
Arab memiliki keyakinan yang sama dengan keyakinan orang Jawa.
Masyarakat jahiliyah menganggap bulan Safar, yaitu bulan
setelah Muharram sebagai bulan sial. Mereka takut dan tidak mau mengadakan
kegiatan apapun di bulan Safar.
Mereka juga berkeyakinan sial dengan burung hantu, karena
mereka mengganggap burung hantu adalah lambang kematian. Jika hinggap diatas rumah
dan mematuknya, pertanda akan ada anggota keluarga yang akan meninggal.
Ketika Islam datang, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam menghapus
keyakinan ini. Beliau bersabda yang artinya:
“Tidak ada penyakit yang menular dengan sendirinya, tidak ada
keyakinan sial karena sebab tertentu, tidak ada keyakinan tentang burung hantu,
dan tidak ada kesialan di bulan Safar,” hadits riwayat Bukhari dan Muslim.
Namun uniknya keyakinan ini dihidupkan kembali oleh sebagian kaum
muslimin Indonesia, hanya saja bulannya berganti. Jika masyarakat jahiliyah
meyakini bulan Safar sebagai bulan sial, maka orang Indonesia meyakini bulan
Sura (Muharram) sebagai bulan sial.
Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda yang artinya:
“Thiyaroh adalah syirik, beliau mengulanginya sampai tiga kali,”
hadist riwayat Abu Daud dan Turmudzi.
Dalam hadits ini Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam
menjelaskan status perbuatan thiyaroh dan beliau mengulanginya tiga kali.
Menunjukkan betapa pentingnya hal ini untuk diingatkan.
Thiyaroh merupakan bentuk kesyirikan yang bisa mengurangi tauhid
seorang muslim. Didalam thiyaroh terdapat dua hal, yakni:
1.
Memutuskan tawwakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bertawakal
kepada selain Allah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
2.
Bergantung
kepada sesuatu yang tidak ada hakikatnya
Ulama menjelaskan bahwa hukum thiyaroh merupakan perbuatan
kesyirikan, dan kesyirikan ini dibagi menjadi dua, dalam Qulul Mufid Syarh
Kitab Tauhid, yaitu:
1.
Syirik kecil, yaitu tidak menyebabkan
keluar dari Islam, jika kejadian aneh, bulan Suro, burung hantu, atau yang
lainnya yang dianggap sebagai sebab kesialan.
Meskipun dia meyakini bahwa pencipta
kesialan itu sendiri adalah Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
2.
Syirik besar, yaitu pelakunya diancam
dengan kekafiran, jika diyakini bahwa bulan Suro yang mengatur terjadinya
kesialan, bukan Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
Keyakinan ini sama dengan menganggap
ada makhluk yang bisa mengatur alam dengan mendatangkan bencana atau sial.
Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, yang artinya:
“Yaa Allah tidak ada kebaikan kecuali kebaikan dari-Mu, tidak ada
kesialan kecuali sial karena takdir-Mu, dan tiada Tuhan yang berhak disembah
selain Engkau,” hadits riwayat Ahmad.
Ada beberapa cara yang bisa ditempuh untuk mengobati diri, dari
penyakit thiyaroh, yaitu:
1.
Memperdalam ilmu tauhid dan aqidah.
2.
Memahami dan meyakini bahwa segala
sesuatu yang ada di alam ini, mutlak di bawah kehendak dan kuasa Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak ada satupun
makhluk yang bisa ikut campur.
3.
Bertawakal dan pasrah sepenuhnya
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala,
sebagaimana yang dilakukan para sahabat.
4.
Sering-sering
memohon perlindungan kepada Allah dari bisikan dan gangguan setan, terutama
ketika muncul perasaan kawatir dan was-was. Kemudian lindungi diri kita dengan
memperbanyak dzikir yang sesuai dengan syariat.
5.
Jangan menggagalkan satu rencana yang
sudah diagendakan disebabkan munculnya perasaan was-was. Karena hal ini akan
menjerumuskan manusia kepada kesyirikan.
6.
Tetap optimis dalam meraih keberkahan
dari setiap kegiatan yang kita lakukan, selama tidak melanggar syariat.
7.
Jangan pedulikan komentar orang yang
justru akan memperparah penyakit thiyarah. Bergaullah dengan orang-orang yang
bisa membantu kita untuk memperbaiki tauhid dan mempertebal tawakkal.
Post a Comment