Perayaan Hari Asyura Syi’ah, Kesedihan Palsu Para Pendusta
Naha Wepesansan – Setiap hari Asyura pada tanggal 10 Muharram, ribuan penganut Syi’ah mengadakan peringatan kematian cucu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, yakni Sayyidina Husein dengan berpakaian serba hitam.
Dalam peringatan Asyura itu, mereka meratapi kematian Husein
bin Ali bin Abi Thalib di perang Karbala, Irak pada 10 Muharram 61 Hijriyah. dengan
bersenandungkan beberapa nyayian.
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُود وَشَقَّ
الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ
“Bukan bagian dari kami, orang yang menampar-nampar wajah,
merobek-robek pakaian dan menyeru dengan seruan jahiliyah (ketika ditimpa
musibah).” (HR. Al-Bukhari dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu)
Setiap hari Asyuro (10 Muharram), kaum Syi’ah merayakan hari
kesedihan dan ratapan atas kematian Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib
radhiyallaahu’anhuma, padahal merekalah penyebab kematian beliau.
Kedatangan Al-Husain radhiyallahu’anhu ke Karbala setelah
menerima surat-surat kaum Syi’ah agar beliau mendatangi mereka yang akan
menjadi pendukung-pendukung beliau.
Faktanya, ketika beliau dan rombongannya diserang,
orang-orang Syi’ah malah lari, tidak ada satu pun yang berani menolong
Al-Husain radhiyallahu’anhu.
Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim rahimahullah berkata,
وصار الشيطان بسبب قتل الحسين رضي الله
عنه يحدث للناس بدعتين بدعة الحزن والنوح يوم عاشوراء
“Dengan sebab terbunuhnya Al-Husain radhiyallahu’anhu, maka
syetan memunculkan dua bid’ah bagi manusia, yaitu (yang pertama) bid’ah
bersedih dan meratap pada hari ‘asyuro (10 Muharram).” (Minhajus Sunnah, 2/332)
Dan Al-Husain radhiyallaahu’anhu pastilah berlepas diri dari
perayaan kesedihan dan ratapan kaum Syi’ah, karena itu termasuk dosa besar, dilarang
keras dalam Islam, melalui lisan kakek beliau shallallaahu’alaihi wa sallam.
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
أَرْبَعٌ فِى أُمَّتِى مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ
لاَ يَتْرُكُونَهُنَّ الْفَخْرُ فِى الأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِى الأَنْسَابِ وَالاِسْتِسْقَاءُ
بِالنُّجُومِ وَالنِّيَاحَةُ
“Empat perkara pada umatku yang termasuk perkara Jahiliyah
yang tidak mereka tinggalkan, berbangga dengan keturunan, mencaci nasab,
menisbatkan hujan kepada bintang dan meratapi mayit.” (HR. Muslim dari Abu Musa
Al-Asy’ari radhiyallahu’anhu)
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda,
النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ
مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ
مِنْ جَرَبٍ
“Seorang wanita yang meratapi mayit jika tidak bertaubat
sebelum mati maka pada hari kiamat ia akan dibangkitkan dengan memakai pakaian
dari ter dan baju tameng dari kudis.” (HR. Muslim dari Abu Musa Al-Asy’ari
radhiyallahu’anhu)
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُود وَشَقَّ
الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ
“Bukan bagian dari kami, orang yang menampar-nampar wajah,
merobek-robek pakaian dan menyeru dengan seruan jahiliyah (ketika ditimpa
musibah).” (HR. Al-Bukhari dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu)
Sahabat yang Mulia Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu’anhu
berkata,
إِنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم
بَرِئَ مِنَ الصَّالِقَة وَالْحَالِقَةِ وَالشَّاقَّةِ
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
berlepas diri dari wanita yang meraung-raung, memotong rambut dan
mencabik-cabik pakaian (ketika ditimpa musibah).” (HR. Muslim)
Sebaliknya, golongan sesat Nashibah (Pembenci Ahlul Bait)
merayakan bid’ah hari raya kegembiraan pada hari Asyuro.
Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim rahimahullah berkata,
وكذلك بدعة السرور والفرح
“Demikian pula (yang kedua) bid’ah bergembira dan berbahagia
(di bulan Muharram)...” (Minhajus Sunnah, 4/332)
Padahal yang seharusnya adalah berpuasa di tanggal 10
Muharram yang pahalanya sangat besar hingga bisa menghapuskan dosa setahun.
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاء أَحْتَسِبُ
عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ
“Dan puasa hari ‘Asyuro (10 Muharram), aku harap kepada
Allah dapat menghapuskan dosa setahun sebelumnya.” (HR. Muslim dari Abu Qotadah
radhiyallahu’anhu)
Demikianlah, apabila satu kaum memunculkan satu bid’ah maka
Allah hukum mereka dengan tidak diberi hidayah untuk mengamalkan satu sunnah.
Al-Imam Hasan bin ‘Athiyyah rahimahullah berkata,
ما ابتدع قوم بدعة في دينهم إلا نزع الله
عنهم من سنتهم مثلها ثم لا يعيدها إليهم إلى يوم القيامة
“Tidaklah suatu kaum berbuat bid’ah dalam agama, kecuali
Allah akan mengangkat sunnah yang semisalnya dari mereka, dan tidak
mengembalikannya sampai hari kiamat.” (Al-Hilyah, 6/73)
Dikutip dari Jamaah Husnul Khotimah Malang, pada Kamis 19
Agustus 2021.***
Post a Comment