Header Ads

Densus 88 Alat Politik Islamophobia, Penegakan hukum atau motif politik di ruang Islamofobia?

Densus 88 Alat Politik Islamophobia. /SuaraSulsel/

Naha Wepesansan –
Jika melihat data penanganan terorisme di Indonesia, maka hampir keseluruhan ‘prestasi’ Densus 88 Antiteror ini berhubungan dengan umat Islam.

Karena rata-rata yang disasar oleh tim Densus 88 Antiteror adalah organisasi, isu, atribut, tokoh dan aktivis Islam.

Sebelum penangkapan terhadap Ustad Farid Oqbah Ketua Umum PDRI, DR. Ahmad Zain An Najah Anggota Komisi Fatwa MUI, dan DR. Anung Al Hamat Dosen Universitas Ibnu Khaldun.

Terakhir Densus 88 Antiteror melakukan penangkapan terhadap Sekretaris FPI, Munarman.

Dikutip dari Era Muslim pada 18 November 2021, Densus 88 Antiteror dinilai tidak layak, saat melakukan target penggerebekan.

Jika ada niatan baik, seharusnya ketiga target bisa dipanggil oleh pihak Kepolisian dengan panggilan hukum, alih-alih membuat sensasi.

Hal yang sama juga berlaku saat penangkapan kepada Advokat terkenal, Munarman.

Wajar jika akhirnya orang mempertanyakan kinerja Densus 88 Antiteror. Apakah institusi ini merupakan penegak hukum atau hanya alat kepentingan politik saja.

Islamofobia yang menjadi sorotan dari kepentingannya.

Dikutip dari YouTube tvONews, Rabu, 13 Oktober 2021, anggota DPR Fraksi Gerindra, Fadli Zon pernah menyarankan agar lembaga mendapat pembiayaan besar ini sebaiknya dibubarkan saja.

Ia menyebut pembubaran Densus 88 Antiteror berangkat karena berbau Islamofobia.

Menurutnya, narasi pejabat Densus 88 itu terkait teror Taliban bisa menginspirasi teroris Indonesia, sudah usang.

Saat ini masyarakat Indonesia malah membandingkan kinerja Densus 88 Antiteror dalam menangani KKB Papua yang nyata-nyata teroris.

Terorisme yang nyata-nyata membahayakan bangsa dan negara. Sehingga muncul ejekan ‘Densus itu beraninya hanya kepada kotak amal dan pohon kurma’ tetapi kepada senjata mengkerut.

Terorisme Sebagai Isu Politik

Sejak ‘penyerangan’ kepada menara kembar WTC di New York memerangi terorisme menjadi isu politik global. Target yang disasar juga organisasi, atribut, isu, aktivis dan tokoh Islam.

Al Qaida dijadikan kambing hitam dan sentral ‘musuh bersama’. Dunia Islam dilumpuhkan dengan mengendalikan pemimpin Negara Islam dengan hantu terorisme dan nina bobo alokasi pembiayaan.

Proposal penanganan aksi kelompok teroris di berbagai negara Islam bertebaran. Bom-bom bunuh diri pun bermunculan.

Akhir dari isu politik global adalah diselesaikannya tugas Osama Bin Laden yang menyisakan buntut ISIS pimpinan Abdurrahman Al Baghdadi yang ujungnya diselesaikan juga.

Amerika pun hengkang. Disisakan aksi-aksi buatan di tingkat regional ataupun lokal. Ketika biaya besar berat pada aksi buatan dan jaringan maka isu pengganti yang lebih murah disiapkan di antaranya radikalisme dan intoleransi.

Isu politik yang menarik dan tetap berfondasi pada Islamofobia.

Kembali pada penangkapan tiga pendakwah atau ulama baru baru ini di samping dipertanyakan cara penanganan hukum dan sensasi Densus 88, juga profil yang bersangkutan yang mudah dibandingkan dengan definisi terorisme menurut UU No 5 tahun 2018.

“Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan rasa takut secara meluas yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan”

Bagi yang mungkin pernah mendengarkan da’wah, pandangan keagamaan, serta perilaku serta akhlak para aktivis dan ulama seperti Munarman, Ustad Farid Ahmad Okbah, DR Ahmad Zain An Najah, dan DR Anung Al Hamat adakah sedikit saja bersesuaian dengan definisi UU No 5 tahun 2018 tersebut?

Penegakan hukum atau motif politik di ruang Islamofobia?

Atau pengalihan isu oleh para koruptor dan predator bangsa dan negara?

Para radikalis, teroris, dan penjahat oligarkhi penguasa negeri yang melindungi diri dengan menyerang hantu terorisme yang sengaja dibuatnya sendiri.***

Tidak ada komentar